Kumpulan Abstraksi Tesis


PENGATURAN HUKUM KREDITOR PREFEREN DALAM UNDANG- UNDANG KEPAILITAN P
enelitian mengenai Pengaturan Hukum Kreditor Preferen Dalam Undangundang Kepailitan di Kota Makassar merupakan penelitian yuridis empiris yang bertujuan untuk mengetahui perlindungan terhadap kedudukan kreditor preferen menurut Undang- undang No. 4 Tahun 1998 dan Undang- undang Nomor 37 Tahun 2004 dan untuk mengetahui hak- hak debitor dan perlindungan debitor yang harta pailitnya telah dilelang sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan tetap.
Data yang dicari dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan melalui wawancara serta data sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Kemudian data- data tersebut dianalisis dengan metode kualitatif yaitu dianalisis secara keseluruhan sehingga akan diperoleh jawaban atas rumusan permasalahan dalam penelitian ini. Setelah dilakukan analisis terhadap data- data penelitian, dapat diketahui bahwa pengaturan hukum kreditor preferen dalam Undang- undang Kepailitan belumlah tepat dan menjamin secara maksimal akibat terjadinya kesimpangsiuran pengaturan antara hukum jaminan kebendaan (Hak Tanggungan dan Fidusia ) dan Undang- undang Kepailitan. Terjadinya pencocokan utang dan masa penangguhan untuk melakukan eksekusi terhadap barang jaminan terhadap debitor yang wanprestasi melangkahi aturan yang telah ditetapkan oleh hukum jaminan khususnya Hak Tanggungan dan Fidusia. Perlindungan hukum terhadap debitor ailit yang harta bendanya telah dilakukan pengalihan padahal belum memperoleh ketentuan hukum yang tetap juga belum sepenuhnya berpihak kepada debitor pailit. Pengalihan harta budel pailit oleh kurator tetap dilakukan dengan putusan Pengadilan Niaga dan tanpa kriteria terhadap jenis harta tertentu. Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Kreditor Preferen, Debitor Pailit.
THESIS TITLE: THE ASSOCIATION OF DIABETIC NEPHROPATHY SEVERITY AND THE OCCURANCE OF CHIEROATHROPATHY IN TYPE 2 DIABETES MELLITUS PATIENTS, IN DR. SARDJITO HOSPITAL ABSTRACT
Background: Diabetic nephropathy is a chronic complication of Diabetes Mellitus due to microangiopathy changes in the kidney itself which alters the kidney function. The diagnosis of this pathology is done through the testing of urine albumin levels. The cheiroathropathy is also a complication of diabetes which affects the hand and finger movement. This complication causes severe disability when patients lose the hand function; for example in writing, buttoning clothes etc. Objective: To identify the occurrence chieroathropathy in association with diabetic nephropathy in type II diabetic mellitus patients in Dr. Sardjito Hospital, Yogyakarta, Indonesia. Research Design and Method: This research was conducted using a cross sectional design. In this study the disease and exposure status were measured simultaneously in a given population or group of patients with the same symptoms. The data was retrieved from medical records and direct interview and questionnaires from patients in the Sardjito policlinic. Result: This study reveals that there are no association between diabetic nephropathy severities and chieroathropathy in 100 Type II Diabetes Mellitus patients in Dr. Sarjito, Polyclinic. Keywords: Diabetes Nephropathy, Diabetes Mellitus II, cheiroathropathy
PEMANFAATAN TEKNOLOGI KOMPUTER DI UPU PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS GADJAH MADA ABSTRAK
Perpustakaan merupakan jantungnya universitas, merupakan organ yang sangat vital. Kualitas perpustakaan akan mempengaruhi kualitas anak didik dan hasil penelitian lembaga induknya. UPU Perpustakaan UGM sebagai salah satu unit layanan informasi diharapkan mampu menyediakan informasi maupun sarana yang diperlukan untuk temu kembali informasi. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan menimbulkan dampak pada tempat dan proses temu kembali informasi. Tersedianya layanan teknologi komputer diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pemakai akan informasi. Metode penelitian yang mengunakan adalah penelitian campuran deskriptif kualitatif dan penelitian survey. Populasinya adalah seluruh pemakai UPU Perpustakaan UGM, meliputi mahasiswa UGM (S0,S1,S2, dan S3), dosen, peneliti, karyawan UGM dan pemakai dari luar UGM. Metode yang digunakan cara observasi, wawancara, dan penyebaran kuesioner sejumlah populasi 200 responden. Analisanya dengan menginterpretasikan hasil wawancara, dan hasil kuesioner survei. Analisis data berlangsung bersamaan dengan proses pengumpulan data, atau melalui 3 tahapan model alir dari Miles dan Huberman (1992 : 20 ) dikutip (Bungin 2003: 229) yaitu tahap reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Hasil temuan dari penelitian pemanfaatan teknologi komputer di UPU Perpustakaan UGM memberikan dampak positif, artinya pemakai termotivasi untuk datang ke perpustakaan. Harapan pemakai sarana unit komputer perlu ditambah jaringannya dan kelengkapannya (kursi, ruang ber AC, jam layanan lebih lama). Hasil penelitian menunjukkan 94% pemakai datang ke perpustakaan untuk mencari bahan-bahan referensi yang digunakan oleh dosen-dosen mereka, termasuk bahan referensi untuk mendukung penulisan paper (tugas akhir), bahan bacaan perkuliahan, skripsi, penelitian dan hasil praktikum. Keberadaan dan penerapan teknologi komputer di perpustakaan untuk mengganti kartu katalog mampu mengurangi antrian. Pemakai tidak merasa canggung, untuk memanfaatkannya secara optimal. Pemakai selalu mengikuti trend teknologi komputer, dan memiliki minat baca yang tinggi. Koleksi yang ada di UPU Perpustakaan UGM ternyata 75% telah memenuhi kebutuhan pemakai, demikian juga jumlah komputer cukup memadai, namun perlu ditambah jumlahnya. Akses layanan internet dalam penelitian ini termasuk cepat dan lebih baik dibandingkan dengan yang ada di perpustakaan fakultas. Pemakai ketika menggunakan program SIPUS tidak mengalami kesulitan, karena programnya mudah dipahami. Sikap petugas ketika memberikan layanan ke pemakai telah memenuhi kebutuhan pemakai. Sistem layanan sirkulasi menggunakan satu sistem kartu pinjam sehingga memudahkan pemakai dan petugas.
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROSES LEGISLASI DAERAH 
Studi tentang Proses Legislasi Daerah di Bidang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Sulawesi Selatan I N T I S A R I Tesis ini bertemakan urgensi partisipasi masyarakat dalam proses legislasi daerah khususnya dalam penyusunan Perda menyangkut Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penulisannya dilatarbelakangi oleh maraknya Perda-perda tentang PAD yang bermasalah selama otonomi daerah dan seringnya terjadi penolakan oleh masyarakat ketika Perda tersebut diimplementasikan. Difokuskannya penulisan pada bidang PAD didasarkan atas pertimbangan bahwa mewujudkan partisipasi masyarakat di bidang ini bukanlah hal yang mudah. Alasannya : (1) pelibatan masyarakat berpotensi menghambat bahkan menggagalkan rencana Perda. Pemikiran ini didasarkan pada fakta bahwa tidak ada masyarakat yang suka membayar pajak/retribusi. Di lain pihak, (2) hak untuk menentukan jenis-jenis pungutan PAD adalah kewenangan pemerintah daerah yang diatur dengan undangundang sehingga posisi pemeritah daerah lebih kuat. Sementara itu (3) meskipun hak masyarakat untuk memberikan masukan dalam rangka persiapan dan pembahasan Rancangan Perda telah diatur dengan undang-undang, namun ketentuan tersebut tidak diimbangi dengan aturan yang mewajibkan penyelenggara pemerintahan daerah untuk melibatkan masyarakat dalam proses legislasi daerah. Dengan demikian, mewujudkan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi daerah di bidang PAD memerlukan usaha yang lebih keras. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis melakukan analisa terhadap prospek Perda-Perda PAD yang partisipatif dalam lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan meneliti kesiapan aktor-aktor kebijakan (DPRD, pemerintah daerah dan masyarakat) serta mekanisme yang mengaturnya. Penelitian ini bersifat diskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik angket, wawancara, pengamatan langsung, dan dokumenter untuk menganalisa kondisi sekarang ini dan membandingkannya dengan kondisi ideal yang harus dipenuhi untuk menghasilkan perda partisipatif, lalu menginterpretasikannya untuk menemukan jawaban atas permasalahan. Hasil analisa menunjukkan bahwa sekalipun pemerintah daerah dan DPRD menyatakan dukungannya terhadap partisipasi masyarakat dalam proses legislasi, namun pernyataan itu tidak diikuti dengan komitmen untuk mewujudkannya. Hal tersebut terbukti dengan tidak adanya regulasi, sistem dan mekanisme, serta sarana berpartisipasi yang dibuat, atau direncanakan akan dibuat, khusus untuk itu. Sementara masyarakat dan pers menunjukkan antusiasme dan mengeluhkan sikap introvert pemerintah daerah dan DPRD sehingga menyulitkan mereka mendapat informasi agar dapat berpartisipasi. Untuk mewujudkan Perda PAD yang partisipatif, ada banyak hal yang perlu dibenahi oleh pemerintah daerah dan DPRD. Diantaranya adalah (1) reorientasi dalam pembuatan kebijakan publik. Bila sebelumnya orientasinya adalah pada kepentingan pemerintah sendiri, maka sekarang kebijakan publik harus benar-benar public oriented; (2) menyatukan komitmen dan persepsi antar-unit kerja Pemda, (3) membuat landasan yuridis yang mengikat pemerintah daerah dan DPRD untuk melibatkan masyarakat dalam proses legislasi daerah, lengkap dengan sanksi dan mekanismenya; dan (4) menyiapkan sarana informasi dan komunikasi rancangan perda sebanyak mungkin. Sarana itu harus mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, juga murah bahkan gratis. Kata-kata kunci : legislasi daerah, partisipasi masyarakat, Perda, PAD.
ANALISIS PEMEKARAN WILAYAH KABUPATEN FAKFAK PROPINSI PAPUA INTISARI Proses pembangunan nasional maupun daerah dari periode ke periode telah menunjukkan hasil yang menggembirakan, namun tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam keberhasilan tersebut masih tersisah persoalan-persoalan yang harus ditangani secara lebih serius, seperti masalah kemiskinan, rendahnya kualitas sumber daya manusia, mainimnya akses terhadap teknologi dan informasi dan lain sebagainya, yang akibatnya masih terlihat adanya kesenjangan di berbagai sektor, baik antar wilayah maupun antar masyarakat. Untuk Propinsi Papua pada umumnya dan khususnya Kabupaten Fakfak hal ini disebabkan, karena luas wilayah dan isolasi wilayah yang mengakibatkan sentuhan pembangunan belum dapat terlihat sebagaimana yang diharapkan. Dengan demikian perlu adanya perhatian dan jalan keluar terhadap persoalan-persoalan pembangunan tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar masalah-masalah pembangunan tersebut tidak menjadi hambatan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di era otonomi daerah. Salah satu alternatif untuk menjawab persoalan-persoalan pembangunan tersebut adalah melalui pemekaran wilayah. Dengan demikian masalah pemekaran wilayah Kabupaten Fakfak merupakan masalah yang sangat tertarik untuk dibicarakan. Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut, teori-teori yang digunakan adalah teori tentang pengembangan wilayah, teori desentralisasi, dan teori pemekaran wilayah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, dengan pendekatan kuantitatif, tekhnik pengumpulan data melalui observasi, dokumentasi, dan wawancara mendalam, sedang analisis datanya melalui interpretasi berdasarkan pemahaman intelektual yang dibangun berdasarkan pengalaman empiris penulis. Kesimpulan hasil penelitian adalah sebagai berikut: Pertama, munculnya kebijakan pemekaran wilayah Kabupaten Fakfak, dilatarbelakangi oleh luas wilayah dan isolasi wilayah, serta terbatasnya sarana dan praasrana publik dalam menjalankan fungsi pelayanan publik, sehingga terlihat masih ada ketimpangan di berbagai sektor khususnya pada daerah (distrik) yang jauh dari pusat pemerintahan. Kedua, ketimpangan antar kecamatan tersebut membuat adanya perhatian dari para stakeholders, sehingga adanya tekanan terhadap pengambil kebijakan, agar ketimpangan tersebut dapat dikurangi/dapat diatasi lewat pemekaran wilayah. Ketiga, Adanya intervensi baik dari pemerointah propinsi maupun pemerintah (pusat) terhadap pengambilan keputusan terhadap pemekaran wilayah ini merupakann keputusan politik dan keputusan akhir yang merupakan kewenangan pemerintah, yang telah dipertimbangkan, sehingga pemekaran wilayah tersebut dapat dilaksanakan. Keempat, secara yuridis maupun administratif pemekaran Kabupaten Fakfak/pembentukan Kabupaten Kaimana dapat dikatakan layak, karena dari hasil penelitian/studi berdasarkan kriteria dan syarat sebagaimana diatur dalam PP. 126/2000, dapat dikatakan lulus, sehingga terbentuknya Kabupaten Kaimana bersamaan dengan 13 kabupaten lainnya di Propinsi Papua yang dikukuhkan lewat UU. No. 26/2002. Kata Kunci : Isu disparitas antar kecamatan – Tekanan Stakeholders – Desaentralisasi Kewenangan – Pemekaran Wilayah.
HUBUNGAN PUSAT – DAERAH DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGUKUHAN HUTAN PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI JENEBERANG PROPINSI SULAWESI SELATAN INTISARI 
Kewenangan pengukuhan hutan secara normatif telah diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, namun dalam prakteknya masih terjadi inkonsistensi. Hal ini menyebabkan timbulnya kerancuan dalam mendefenisikan wewenang bagi Pemerintah Pusat dan Daerah dalam kegiatan teknisnya. Oleh karena itu, studi ini ingin mengkaji hubungan pusat dan daerah dalam implementasi kebijakan pengukuhan hutan. Untuk menganalisis hubungan tersebut digunakan model implementasi kebijakan Grindle yang didasarkan pada analisis isi dan konteks kebijakan pengukuhan hutan. Analisis terhadap isi kebijakan dilakukan dengan menggunakan enam indikator, yaitu : kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan pengukuhan hutan, tipe manfaat yang diperoleh dari kebijakan tersebut, Derajat perubahan yang diharapkan, letak pengambilan keputusan, pelaksana program dan sumberdaya yang dikerahkan. Sementara analisis konteks kebijakan didasarkan pada tiga indikator, yaitu : kekuasaan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik institusi dan rejim serta kepatuhan dan daya tanggap. Untuk sampai pada analisis tersebut, maka pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara terhadap aktor dari lembaga yang terlibat dalam kegiatan pengukuhan hutan pada masing-masing level pemerintahan. Berdasarkan hasil penelitian dengan melakukan analisis isi kebijakan, maka secara umum terjadi inkonsistensi kebijakan pusat dalam wewenang pengukuhan hutan. Inkonsistensi tersebut memberikan peluang bagi masing-masing pihak untuk memainkan kepentingannya. Terjadi perbedaan kriteria tipe manfaat yang diperoleh oleh masing-masing pihak, perbedaan derajat perubahan yang diharapkan, kerancuan letak pengambilan keputusan, ketidakjelasan pelaksana kegiatan serta dominasi Pemerintah Pusat dalam pengerahan sumberdaya. Sementara itu, masing-masing level pemerintahan mempunyai posisi dan strategi sendiri dalam merespon redefenisi perannya di era otonomi daerah. Kewenangan yang telah didesentralisasikan kemudian menjadi kabur ketika kegiatan teknis pengukuhan hutan masih dikendalikan oleh Pemerintah Pusat. Kondisi ini mewarnai analisis konteks kebijakan pengukuhan hutan. Dengan demikian, maka desentralisasi dalam kebijakan pengukuhan hutan tidak dapat diimplementasikan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan masih terdapat muatan kepentingan masing-masing level pemerintahan yang tidak konsisten dengan isi kebijakan desentralisasi pengukuhan hutan. Inkonsistensi kebijakan tersebut dilingkupi oleh redefenisi posisi dan strategi masing-masing level pemerintahan. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka diharapkan agar kegiatan pengukuhan hutan kedepan dilaksanakan dengan berpegang pada konsistensi bidang kewenangan masing-masing level pemerintahan. Dengan demikian diharapkan terwujud kesamaan bahasa dalam mengimplementasikan kebijakan pengukuhan hutan. Konsistensi juga diharapkan terwujud dalam kebijakan sektoral yang dibangun diatas niat tulus berbagai pihak dalam melaksanakan kegiatannya. Kata Kunci : Hubungan, implementasi, kebijakan, pengukuhan hutan
KUALITAS PELAYANAN UMUM PADA KANTOR KECAMATAN DI KOTA PALANGKA RAYA INTISARI
Saat ini masyarakat menuntut adanya perbaikan kualitas pelayanan publik dari pemerintah terhadap berbagai jenis pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini karena masyarakat semakin memahami akan hak-haknya, sehingga tuntutan dalam peningkatan kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah semakin besar. Selain itu masyarakat ingin lebih mudah dan dekat dalam mendapatkan pelayanan publik. Untuk merespon tuntutan ini, maka itu peran Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sangatlah penting. Karena itu untuk menjawab tuntutan masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik yang lebih dekat, baik, cepat, efisien, dan berkualitas Pemerintah Kota Palangka Raya berusaha mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat dengan melakukan pemekaran Kecamatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Kecamatan Jekan Raya sebagai Kecamatan baru hasil pemekaran. Serta mencermati apakah Resvonsivitas/daya tanggap pegawai, Diskresi pegawai, dan Partisipasi masyarakat mempunyai pengaruh terhadap kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Kecamatan Jekan Raya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data yang dipakai adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. Sebagai sumber data adalah pejabat struktural yang terkait dan staf yang menangani pelayanan, sedangkan untuk data pengguna jasa adalah masyarakat yang sedang dan pernah mengurus pelayanan pada kantor Kecamatan Jekan Raya. Dari hasil analisa dan interpretasi disimpulkan bahwa kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Kecamatan Jekan Raya masih belum baik. Hal ini dapat dilihat dari masih belum adanya kejelasan dan kepastian mengenai lamanya waktu penyelesaian suatu pelayanan dan biaya yang harus dibayar oleh masyarakat, serta masih rendahnya diskresi pegawai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga menjadi penghambat dalam pelaksanaan pelayanan. Beberapa saran yang dapat diberikan kepada Kantor Kecamatan Jekan Raya berkaitan dengan pelaksanaan pelayanan publik adalah agar memberikan kejelasan mengenai kepastian waktu dan biaya kepada masyarakat yang mengurus suatu pelayanan, masyarakat perlu lebih dilibatkan dalam pengambilan kebijakan yang berkenaan dengan kepentingan masyarakat, sehingga keputusan yang diambil tidak sepihak. Serta unsur pimpinan hendaknya lebih memberi kewenangan dan kebebasan yang lebih besar bagi para pegawai untuk berkreasi dan berinovasi dalam menyelesaikan pekerjaan, khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. (Studi Kasus Di Kecamatan Jekan Raya)
PENEMPATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA JABATAN STRUKTURAL DI KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN INTISARI 
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi peluang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri antara lain dalam penempatan pegawai pada jabatan struktural, sehingga memperoleh pegawai yang tepat pada tempat yang tepat, dengan kemampuan dan profesional yang dimiliki sesuai dengan jabatan yang diemban, dan dilaksanakan berdasarkan peraturan persyaratan penempatan yang ada. Tapi kenyataan pegawai yang ditempatkan tidak sesuai dengan peraturan persyaratan, nampak dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi dalam jabatan yang diemban, tidak sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu yang menjadi permasalahan didalam penempatan pegawai negeri sipil pada jabatan struktural di Kabupaten Timor Tengah Selatan, yaitu mengapa terjadi perbedaan antara peraturan persyaratan penempatan pegawai negeri sipil pada jabatan struktural dan kenyataan pelaksanaan di lapangan. Dalam penempatan ada 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi yaitu Analisis Jabatan, Kewenangan, dan Budaya. Variabel penempatan dioperasionalkan melalui indikator tingkat penyimpangan disengaja dan tidak disengaja, serta dampak dari penyimpangan. Variabel Analisis Jabatan dioperasionalkan melalui indikator persyaratan jabatan dan kewajiban. Variabel Kewenangan dioperasionalkan melalui indikator Tindakan untuk mengatur dan pendelegasian. Variabel Budaya dioperasionalkan melalui indikator praktek patronage dan partisipasi organisasi. Metode penelitian yang dipakai yaitu metode deskriptif kualitatif, dengan cara menggunakan data sekunder yang tersedia di kantor Badan Kepegawaian Daerah, Badan Diklat, dan Bagian Kepegawaian. Selanjutnya dilakukan wawancara terhadap beberapa nara sumber yang dianggap memiliki pengetahuan tentang data yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan, penempatan pegawai negeri sipil pada jabatan struktural di Kabupaten Timor Tengah Selatan, tidak sesuai dengan peraturan persyaratan, karena berbagai kepentingan yang lebih didahulukan atau diprioritaskan untuk keuntungan pribadi atau poltik pejabat tertentu. Dengan demikian, maka untuk memperoleh pegawai yang tepat pada tempat yang tepat, peraturan persyaratan harus benar-benar dipakai terutama standar kompetensi harus dimiliki oleh pegawai yang akan ditempatkan, dan perlu adanya persiapan kader-kader yang akan menduduki jabatan dengan cara memberi pendidikan, pelatihan, dan didukung dengan peraturan persyatan yang diperlukan dalam jabatan tersebut. Kata Kunci: Penempatan, Jabatan struktural.
PERLAWANAN NAN TAK KUNJUNG PADAM
(Studi tentang Dinamika Aksi Kolektif Suku Jawa dan Suku Gayo terhadap GAM di Tanoh Gayo 1999 – 2008) INTISARI Tuntutan Aceh pisah dari NKRI (merdeka) tidak dinafikkan muncul pro kontra dan berdampak terjadinya berbagai tindak kekerasan. Penelitian ini memotret dinamika aksi kolektif perlawanan Suku Jawa dan Suku Gayo (gerakan sosial) terhadap GAM di Tanoh Gayo sejak 1999-2008. Fenomena aksi kolektif mendeskripskan sesuatu yang selama ini tidak dipotret, tetapi itu terjadi dalam periodesasi dan momentum politik. Metode/jenis penelitian kualitatif, data yang digunakan primer dan sekunder, diperoleh melalui teknik wawancara, studi dokumentasi dan telaah kepustakaan, dengan analisa deskriptif kualitatif dilakukan secara simultan. Temuan penelitian aksi kolektif perlawanan hadir dan menguat periodesasi (2000-2003) karena pertama, kondusifitas struktural, kesejarahan, struktur demografis, geografis, kekuasaan dan ekonomi; kedua, absennya pemerintah dalam pelayanan keamanan berdampak terjadinya kekerasan; ketiga gagalnya berbagai kebijakan politis, upaya damai/dialog, dan operasi terpadu; keempat mendapat dukungan dan sikap empatik/simpati pemimpin lokal, eksekutif, legislatif, muspida, dan berbagai pihak, kelima interaksi dengan berbagai kekuatan kekuasaan (aparat keamanan). Aksi kolektif hadir dan menguat semata-mata mengatasi permasalahan dan mengisi kevakuman aparatus keamanan. Periodesasi Darurat (2003-2005 aksi kolektif dikooptasi oleh pemerintah (penguasa darurat) karena negara dalam keadaan kuat. Masuknya berbagai kepentingan secara simultan dan beberapa agenda nasional dan lokal (pemilu 2004, pilkada, darurat itu sendiri) menjadikannya sebagai alat untuk mensukseskan agenda tersebut. Aksi kolektif mengalami krisis, tidak bermakna, mal fungsi ketika negara dominan, kuat, otoriter. Periodasasi pasca Darurat/MoU (2005-2008) aksi kolektif perlawanan secara fisik vakum dan waspada (situas kondusif) tetapi secara substansi sebagai gerakan sosial menguat dan solid, meski terjadi deklinasi yang memunculkan kekecewaaan. Kesadaran identitas kolektif hadir kembali bahkan menyebakan konflik internal. Aksi kolektif perlawanan akan memberikan respon jika jika mantan GAM berulah dan sampai kini eksis (survive) terlebih menjelang pemilu 2009. Ketika pemerintah keluar dari ranah gerakan sosial, kemandirian, independensi, sukarela, ekspresi, dan kreasi justru mewarnai keseharian aksi kolektif perlawanan di Tanoh Gayo Aksi kolektif suku Jawa dan Suku Gayo sebagai gerakan sosial adalah fenomena serba hadir dalam konteks negara Indonesia pada umumnya dan Aceh Tanoh Gayo) pada khususnya. Campur tangan, masuknya berbagai kepentingan, dan interaksi dengan berbagai kekuatan adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakan. Namun bila berlebihan, absolut, dan otoriter justru akan merusak, mematikan dan memunculkan pelabelan negatif terhadap sebuah aksi kolektif. Kajian selanjutnya adalah berapa kadar (toleransi) yang dibolehkan. Sebab gerakan sosial adalah sebuah organisme yang lahir suci (tabularasa). Hitam atau putih, bersih atau kotor sangat ditentukan lingkungan internal dan eksternalnya. Kata kunci : gerakan sosial, aksi kolektif perlawanan
IMPLEMENTASI PROGRAM BOS (BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH) DALAM RANGKA MEMPERLUAS AKSES LAYANAN INTISARI 
Keberhasilan pemerintah merealisasikan wajib belajar 6 tahun bagi seluruh warganegara Indonesia sejak tahun 1984 telah mendorong upaya pemerintah memperluas jangkauan layanan pendidikan dasar menjadi wajib belajar 9 tahun, khususnya bagi kelompok masyarakat yang secara ekonomi tergolong kurang mampu. Kebijakan tidak populis dengan menaikkan harga BBM justru berdampak pada menurunnya terhambatnya upaya penuntasan program wajardikdas 9 tahun oleh karena penduduk miskin akan semakin sulit memenuhi kebutuhan biaya pendidikan. Salah satu kebijakan yang ambil pemerintah untuk meringankan biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah adalah dengan meluncurkan program BOS kepada sekolah setingkat SD/MI dan SMP/MTs di seluruh Indonesia sejak bulan Juli 2005. Dengan dasar argumentasi tersebut, studi ini berusaha menjawab pertanyaan penelitian, yaitu “bagaimana implementasi kebijakan program BOS dalam rangka memperluas layanan akses pendidikan dasar 9 tahun?” Studi ini dilakukan di Kecamatan Banyumas Kabupaten Banyumas. Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah deskriptif-kualitatif. Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Sedangkan analisis data menggunakan teknik kualitatif dan induktif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan program BOS yang dilakukan oleh sekolah-sekolah di Kecamatan Banyumas, khususnya di sekolahsekolah yang menjadi objek penelitian ini telah dijalankan berdasarkan petunjuk pelaksanaan dan teknis yang dikeluarkan pemerintah. Namun, dalam penerapannya ternyata sekolah-sekolah tersebut menghadapi berbagai kendala baik dari segi isi maupun konteks kebijakan program BOS. Dari segi isi, beberapa aturan dalam juklak dan juknis BOS bagi sekolah-sekolah dirasakan cukup memberatkan, seperti pelaporan BOS yang rumit dan alokasi dana yang terbatas ditambah lagi dengan adanya pemberlakuan pajak 15%. Harapan sekolah dan masyarakat dengan adanya BOS dapat mengurangi berbagai jenis iuran yang selama ini memberatkan orang tua murid justru tidak seutuhnya dapat ditutupi oleh adanya dana BOS. Dari segi konteks, sekolah-sekolah dihadapkan pada problema keterlibatan stakeholder, khususnya komite sekolah dan partisipasi orang tua murid dalam rangka mendukung program BOS sebagai upaya menuntaskan wajardikdas 9 tahun. Keberadaan komite sekolah dalam struktur pelaksana BOS tidak ditentukan secara jelas, sementara dalam UU 20/2003 tentang Sisdikas keberadaan komite sekolah sangat determinan. Dari sisi masyarakat, adanya dana BOS seolah-olah orang tua tidak lagi memberikan perhatian terhadap perkembangan dan pengembangan sekolah misalnya untuk peningkatan sarana dan prasarana sekolah, padahal dana BOS peruntukannya sangat jelas dan dengan dana yang terbatas. Untuk itu, penelitian ini merekomendasikan perlu adanya perubahan mendasar dan terstruktur terhadap juklak dan juknis program BOS, sehingga ide dasar program BOS untuk meringankan beban sekolah dan orang tua murid dalam rangka peningkatan akses wajardikdas 9 tahun tidak berbuah dilema, baik bagi sekolah itu sendiri, keluarga yang tidak mampu, maupun murid itu sendiri. Selain itu, pemerintah perlu memperkuat transparansi dalam mensosialisasikan kebijakan program BOS kepada seluruh stakeholders agar tidak terjadi mis-understanding dan mis-communication dalam rangka implementasinya. Kata kunci: implementasi, BOS, isi (contents), lingkungan (context), wajardikdas.

Category:

INFO BISNIS