Penerapan Sistem Demokrasi Konsosiasional di Malaysia
|
|
Penerapan sistem konsosiasional di Malaysia bermula dari periode pemerintahan kolonial yang berlangsung di negara tersebut. Pada saat itu, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan pembagian kelas pekerja yang didasarkan pada faktor etnis (ethnic division of labour) yang secara tidak langsung membagi-bagi masyarakat ke dalam kelas-kelas atau kelompok-kelompok yang berbeda menurut identitas etnis. Kelas pekerja Malaysia dibagi ke dalam tiga ras; yaitu Melayu, Cina, dan Tamil (juga dikenal dengan sebutan Keling) yang memiliki atribut identitas kelas sosial yang berbeda-beda . Pembagian dan stereotype yang berkembang tersebut terus berlangsung bahkan hingga pada saat negara tersebut mendapatkan kemerdekaannya setelah dilepaskan oleh pemerintah Kolonial Inggris.
Setelah mendapatkan kemerdekaan, Malaysia mulai berupaya untuk membangun nation bulding di tengah-tengah kondisi dimana terdapat kelompok-kelompok etnis yang berbeda. Dalam rangka membentuk suatu identitas nasional bagi negara tersebut, Malaysia kemudian menerapkan model konsosiasional. Model konsosiasional yang diterapkan di Malaysia sangat terlihat dalam sektor politik, dimana masing-masing kelompok etnis yang ada di dalam sistem masyarakat memiliki suatu partai politik yang berfungsi sebagai saluran atau akses terhadap decission making process. Mereka secara langsung dapat terwakili (secara eksekutif atau legislatif) oleh kehadiran partai politik tersebut. Partai-partai berbasis identitas etnis yang ada di Malaysia membentuk suatu aliansi atau koalisi yang kemudian menjalankan pemerintahan, setelah sebelumnya melalui proses pemilihan umum.
Sampai saat ini yang berkuasa di Malaysia adalah koalisi Barisan Nasional, yang terdiri dari tiga partai utama (selain partai-partai kecil lainnya) yaitu United Malays National Organization (UMNO), Malaysian Chinese Association (MCA), serta Malaysian Indian Congress (MIC). Komposisi tiga elemen utama tersebut menunjukkan bagaimana sistem konsosiasional berjalan di negara tersebut, merepresentasikan keberadaan tiga kelompok etnis yang ada di sana.
Alasan mengapa Malaysia (dan negara-negara lain) memutuskan untuk menerapkan model konsosiasional di negaranya dapat ditinjau dari munculnya anggapan yang menyatakan bahwa model konsosiasional (atau power sharing) dapat menciptakan suatu perdamaian di tengah-tengah kemunculan konflik kelompok etnis serta dapat menciptakan pula sistem politik yang adil dan partisipatoris. Hal itu dikarenakan, mereka menganggap bahwa konflik internal muncul sebagai akibat dari: adanya pendistribusian sumber-sumber daya yang tidak merata diantara komunitas-komunitas atau daerah-daerah, dominasi satu kelompok tertentu atas kelompok lain, pengucilan kelompok tertentu, ataupun tidak diakuinya identitas-identitas etnik suatu kelompok (bahasa, agama, budaya dll).
Hal-hal tersebut berdampak pada persoalan akses serta struktur dari pemerintahan itu sendiri. Konsosiasionalisme sangat bergantung pada adanya kerjasama dari para elit-elit kelompok etnis yang memiliki satu kepentingan bersama yaitu menjaga stabilitas tatanan sosial dalam negara tersebut. Diasumsikan bahwa jika para pemimpin kelompok etnik telah bersatu, maka pengikut (basis massanya) juga akan turut bersatu.
Namun model konsosiasional memiliki beberapa kelemahan serta dampak buruk terkait dengan persoalan demokrasi, transparansi, dan akuntabiliti. Consociational arrangement membutuhkan keterlibatan yang tinggi dari para pemimpin kelompok etnis. Sementara dalam model konsosiasional, kita tahu bahwa partisipasi politik didasarkan pada keanggotaan dalam suatu kelompok atau komunitas etnis. Dengan demikian seorang pemimpin kelompok etnis otomatis memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam struktur pemerintahan politik negara tersebut. Hal itu dapat merugikan keberadaan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki posisi cukup tinggi dan pengaruh yang cukup besar (contohnya kelompok yang memiliki kasta lebih rendah).
Beberapa negara (termasuk Malaysia) dapat mempertahankan consociational arrangement dengan menerapkan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi ataupun hak partisipasi politik. Bahkan ada negara tertentu yang menerapkan model konsosiasional dengan berdasarkan pada dominasi etnis mayoritas, memaksa kelompok etnis minoritas untuk menerima otoritas yang dimiliki oleh kelompok mayoritas.
Untuk kasus Malaysia secara khususnya, negara tersebut dirasa cukup berhasil dalam menerapkan sistem konsosiasional guna menjaga stabilitas dalam negeri terkait dengan terdapatnya keberagaman etnis yang dapat memicu timbulnya konflik untuk waktu jangka pendek. Pemerintah Malaysia berhasil “meredam” munculnya identitas-identitas horizontal (etnis) dengan menyatukan mereka kedalam sebuah identitas tunggal nasional. Hal tersebut dimungkinkan dengan sistem konsosiasional, yang melibatkan partisipasi politik aktif dari masing-masing kelompok etnis ke dalam suatu wadah berupa koalisi bersama di dalam pemerintahan.
Disamping itu, pemerintah juga menerapkan beberapa kebijakan yang secara tidak langsung mengeliminasi elemen-elemen identitas dari kelomok etnis, seperti penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pemersatu serta agama Islam yang dipergunakan sebagai agama formal dari negara Malaysia (tetapi tidak berarti negara tersebut menjadi negara Islam) . Namun di kemudian hari, muncul berbagai macam tantangan dan gangguan yang mengancam stabilitas sistem konsosiasional, yang bermula dari adanya kesenjangan-kesenjangan diantara kelompok etnis (terlebih jika menimpa kelompok mayoritas). Salah satu contoh: kesenjangan ekonomi menjadi dasar penyebab munculnya permasalahan etnis yang muncul pada tahun 1969 di Malaysia. Kaum melayu yang sedari dulu menjadi kelompok mayoritas tidak memiliki sumberdaya serta akses yang cukup dalam sektor ekonomi, dibandingkan dengan kelompok-kelompok etnis yang lain (terutama Cina).
Pemerintah nasional kemudian bereaksi, dengan mengeluarkan kebijakan yang mengatur secara spesifik mengenai pembagian sumberdaya dan akses dalam sektor ekonomi yaitu New Economic Policy (NEP) pada 1970. Kebijakan ini mendahulukan warga melayu dalam hal pekerjaan, bidang usaha, dan pendidikan. Di bawah kebijakan NEP, orang-orang melayu mendapat fasilitas dari pemerintah dalam membangun usaha (bisnis), pekerjaan, dan juga beasiswa hingga keluar negeri. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa NEP justru menguntungkan segelintir elit melayu, bukan etnis melayu secara umum. Kekuatan politik yang disebut-sebut diuntungkan oleh NEP adalah elit-elit politik dari UMNO, keluarga, dan kroninya. NEP dimanfaatkan oleh kelompok tersebut untuk mendapatkan lisensi perdagangan, menguasai saham, dan memenangkan tender-tender proyek besar. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan adanya dominasi kelompok melayu dalam sistem konsosiasional Malaysia (melalui UMNO dalam koalisi Barisan Nasional). Ketidakadilan ekonomi warisan dari NEP juga berdampingan dengan sebuah sistem politik yang oligarkis. Dapat dikatakan bahwa Barisan Nasional merupakan lingkaran kekuasaan yang mengontrol seluruh kehidupan politik di Malaysia, sehingga tidak ada ruang sedikitpun bagi kaum oposisi. Pemerintah masih memberlakukan undang-undang keselamatan dalam negeri (Internal Security Act) yang membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat publik.
Walupun secara teori sistem konsosiasional di malaysia melibatkan partisipasi politik aktif dari seluruh kelompok etnis yang ada, namun pada kenyatannya tetap ada dominasi dari kelompok mayoritas terhadap kelompok yang lain. Keberadaan NEP memberikan privilege khusus bagi kaum melayu dalam sektor ekonomi, dengan demikian semakin mengukuhkan dominasi kelompok tersebut atas kelompok-kelompok yang lain (Cina dan India). Hal ini menimbulkan persoalan tersendiri karena pada akhirnya berujung pada terciptanya jurang perbedaan dan ketimpangan yang signifikan diantara kelompok-kelompok etnis.
Persoalan-persoalan kecil yang muncul dalam kondisi sosial-politik Malaysia menjadi tantangan tersendiri bagi keberlangsungan sistem konsosiasional di negara tersebut, bahkan bukan tidak mungkin hal itu dapat menjadi suatu ancaman yang serius. Belum lagi ditambah dengan kondisi kontemporer yang terjadi di Malaysia, yaitu munculnya upaya-upaya untuk mengubah sistem pemerintahan ke arah yang lebih demokratis. Upaya tersebut dilancarkan oleh pihak-pihak yang cenderung menentang pemerintahan nasional yang berkuasa, bahkan mereka membentuk suatu koalisi atau aliansi tandingan yang bersifat oposisi terhadap pemerintah. Akumulasi hal-hal kecil itulah yang nantinya dapat menjadi suatu ancaman besar bagi keberlangsungan pemerintah nasional dan bahkan sistem konsosiasional itu sendiri.
Setelah mendapatkan kemerdekaan, Malaysia mulai berupaya untuk membangun nation bulding di tengah-tengah kondisi dimana terdapat kelompok-kelompok etnis yang berbeda. Dalam rangka membentuk suatu identitas nasional bagi negara tersebut, Malaysia kemudian menerapkan model konsosiasional. Model konsosiasional yang diterapkan di Malaysia sangat terlihat dalam sektor politik, dimana masing-masing kelompok etnis yang ada di dalam sistem masyarakat memiliki suatu partai politik yang berfungsi sebagai saluran atau akses terhadap decission making process. Mereka secara langsung dapat terwakili (secara eksekutif atau legislatif) oleh kehadiran partai politik tersebut. Partai-partai berbasis identitas etnis yang ada di Malaysia membentuk suatu aliansi atau koalisi yang kemudian menjalankan pemerintahan, setelah sebelumnya melalui proses pemilihan umum.
Sampai saat ini yang berkuasa di Malaysia adalah koalisi Barisan Nasional, yang terdiri dari tiga partai utama (selain partai-partai kecil lainnya) yaitu United Malays National Organization (UMNO), Malaysian Chinese Association (MCA), serta Malaysian Indian Congress (MIC). Komposisi tiga elemen utama tersebut menunjukkan bagaimana sistem konsosiasional berjalan di negara tersebut, merepresentasikan keberadaan tiga kelompok etnis yang ada di sana.
Alasan mengapa Malaysia (dan negara-negara lain) memutuskan untuk menerapkan model konsosiasional di negaranya dapat ditinjau dari munculnya anggapan yang menyatakan bahwa model konsosiasional (atau power sharing) dapat menciptakan suatu perdamaian di tengah-tengah kemunculan konflik kelompok etnis serta dapat menciptakan pula sistem politik yang adil dan partisipatoris. Hal itu dikarenakan, mereka menganggap bahwa konflik internal muncul sebagai akibat dari: adanya pendistribusian sumber-sumber daya yang tidak merata diantara komunitas-komunitas atau daerah-daerah, dominasi satu kelompok tertentu atas kelompok lain, pengucilan kelompok tertentu, ataupun tidak diakuinya identitas-identitas etnik suatu kelompok (bahasa, agama, budaya dll).
Hal-hal tersebut berdampak pada persoalan akses serta struktur dari pemerintahan itu sendiri. Konsosiasionalisme sangat bergantung pada adanya kerjasama dari para elit-elit kelompok etnis yang memiliki satu kepentingan bersama yaitu menjaga stabilitas tatanan sosial dalam negara tersebut. Diasumsikan bahwa jika para pemimpin kelompok etnik telah bersatu, maka pengikut (basis massanya) juga akan turut bersatu.
Namun model konsosiasional memiliki beberapa kelemahan serta dampak buruk terkait dengan persoalan demokrasi, transparansi, dan akuntabiliti. Consociational arrangement membutuhkan keterlibatan yang tinggi dari para pemimpin kelompok etnis. Sementara dalam model konsosiasional, kita tahu bahwa partisipasi politik didasarkan pada keanggotaan dalam suatu kelompok atau komunitas etnis. Dengan demikian seorang pemimpin kelompok etnis otomatis memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam struktur pemerintahan politik negara tersebut. Hal itu dapat merugikan keberadaan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki posisi cukup tinggi dan pengaruh yang cukup besar (contohnya kelompok yang memiliki kasta lebih rendah).
Beberapa negara (termasuk Malaysia) dapat mempertahankan consociational arrangement dengan menerapkan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi ataupun hak partisipasi politik. Bahkan ada negara tertentu yang menerapkan model konsosiasional dengan berdasarkan pada dominasi etnis mayoritas, memaksa kelompok etnis minoritas untuk menerima otoritas yang dimiliki oleh kelompok mayoritas.
Untuk kasus Malaysia secara khususnya, negara tersebut dirasa cukup berhasil dalam menerapkan sistem konsosiasional guna menjaga stabilitas dalam negeri terkait dengan terdapatnya keberagaman etnis yang dapat memicu timbulnya konflik untuk waktu jangka pendek. Pemerintah Malaysia berhasil “meredam” munculnya identitas-identitas horizontal (etnis) dengan menyatukan mereka kedalam sebuah identitas tunggal nasional. Hal tersebut dimungkinkan dengan sistem konsosiasional, yang melibatkan partisipasi politik aktif dari masing-masing kelompok etnis ke dalam suatu wadah berupa koalisi bersama di dalam pemerintahan.
Disamping itu, pemerintah juga menerapkan beberapa kebijakan yang secara tidak langsung mengeliminasi elemen-elemen identitas dari kelomok etnis, seperti penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pemersatu serta agama Islam yang dipergunakan sebagai agama formal dari negara Malaysia (tetapi tidak berarti negara tersebut menjadi negara Islam) . Namun di kemudian hari, muncul berbagai macam tantangan dan gangguan yang mengancam stabilitas sistem konsosiasional, yang bermula dari adanya kesenjangan-kesenjangan diantara kelompok etnis (terlebih jika menimpa kelompok mayoritas). Salah satu contoh: kesenjangan ekonomi menjadi dasar penyebab munculnya permasalahan etnis yang muncul pada tahun 1969 di Malaysia. Kaum melayu yang sedari dulu menjadi kelompok mayoritas tidak memiliki sumberdaya serta akses yang cukup dalam sektor ekonomi, dibandingkan dengan kelompok-kelompok etnis yang lain (terutama Cina).
Pemerintah nasional kemudian bereaksi, dengan mengeluarkan kebijakan yang mengatur secara spesifik mengenai pembagian sumberdaya dan akses dalam sektor ekonomi yaitu New Economic Policy (NEP) pada 1970. Kebijakan ini mendahulukan warga melayu dalam hal pekerjaan, bidang usaha, dan pendidikan. Di bawah kebijakan NEP, orang-orang melayu mendapat fasilitas dari pemerintah dalam membangun usaha (bisnis), pekerjaan, dan juga beasiswa hingga keluar negeri. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa NEP justru menguntungkan segelintir elit melayu, bukan etnis melayu secara umum. Kekuatan politik yang disebut-sebut diuntungkan oleh NEP adalah elit-elit politik dari UMNO, keluarga, dan kroninya. NEP dimanfaatkan oleh kelompok tersebut untuk mendapatkan lisensi perdagangan, menguasai saham, dan memenangkan tender-tender proyek besar. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan adanya dominasi kelompok melayu dalam sistem konsosiasional Malaysia (melalui UMNO dalam koalisi Barisan Nasional). Ketidakadilan ekonomi warisan dari NEP juga berdampingan dengan sebuah sistem politik yang oligarkis. Dapat dikatakan bahwa Barisan Nasional merupakan lingkaran kekuasaan yang mengontrol seluruh kehidupan politik di Malaysia, sehingga tidak ada ruang sedikitpun bagi kaum oposisi. Pemerintah masih memberlakukan undang-undang keselamatan dalam negeri (Internal Security Act) yang membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat publik.
Walupun secara teori sistem konsosiasional di malaysia melibatkan partisipasi politik aktif dari seluruh kelompok etnis yang ada, namun pada kenyatannya tetap ada dominasi dari kelompok mayoritas terhadap kelompok yang lain. Keberadaan NEP memberikan privilege khusus bagi kaum melayu dalam sektor ekonomi, dengan demikian semakin mengukuhkan dominasi kelompok tersebut atas kelompok-kelompok yang lain (Cina dan India). Hal ini menimbulkan persoalan tersendiri karena pada akhirnya berujung pada terciptanya jurang perbedaan dan ketimpangan yang signifikan diantara kelompok-kelompok etnis.
Persoalan-persoalan kecil yang muncul dalam kondisi sosial-politik Malaysia menjadi tantangan tersendiri bagi keberlangsungan sistem konsosiasional di negara tersebut, bahkan bukan tidak mungkin hal itu dapat menjadi suatu ancaman yang serius. Belum lagi ditambah dengan kondisi kontemporer yang terjadi di Malaysia, yaitu munculnya upaya-upaya untuk mengubah sistem pemerintahan ke arah yang lebih demokratis. Upaya tersebut dilancarkan oleh pihak-pihak yang cenderung menentang pemerintahan nasional yang berkuasa, bahkan mereka membentuk suatu koalisi atau aliansi tandingan yang bersifat oposisi terhadap pemerintah. Akumulasi hal-hal kecil itulah yang nantinya dapat menjadi suatu ancaman besar bagi keberlangsungan pemerintah nasional dan bahkan sistem konsosiasional itu sendiri.
Category: Politik